Selasa, 15 Juli 2008

sumiarsih



Bogel:

(Memorandum Minggu 20 Juli 2008)

M-A-T-I

Bukan masalah setuju atawa tidak dengan adanya hukuman mati di negeri tercinta ini, sebab Bogel bin Welgeduwel-beh memang bukan ahli hukum, tapi nek ada orang dijatuhi vonis mati 20 tahun silam dan baru dilaksanakan sekarang itu namanya astaganaga. Hukumannya dobel. Sudah dihukum 20 tahun penjara, masih dapat bonus eksekusi mati, ditembak Brimob sejinah banyaknya. Padahal, waktu 20 tahun di dalam penjara itu dia tidak punya hak remisi atawa potongan meski kelakuannya baik, wong setatusnya hukuman mati.

Entah gimana aturannya, yang jelas terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng sudah divonis mati tahun 1989 atas pebuatan mereka mbunuh Letkol Marinir Purwanto, istri, dua anak dan satu keponakannya pada Agustus 1988. Saking lamanya pelaksanaan hukuman mati itu, Djais Adi Prayitno, suami Sumiarsih -yang juga divonis mati- tidak sabar dan pilih mati duluan di tahun 2005. Mungkin Prayit iri sama Sersan Dua (Pol) Adi Saputro, menantunya yang juga terlibat dalam pembunuhan itu dan sudah dieksekusi lebih dulu.

Pada tahun 2003 yang lalu, pihak Polda Jatim pernah dengan tegas menyatakan telah membentuk dua tim penembak dari Brimob untuk melaksakan eksekusi. Berarti sudah lima tahun para anggota Brimob itu siaga untuk melaksanakan tugas dan baru sekarang terlaksana. Capek deh…

Lantas gimana pendapat masyarakat tentang hukuman mati istimewa yang dialami Sumiarsih dan Sugeng? Bogel bingung wong setiap tanya sama orang semua cengengesan. Jiman bin Martilun-peh malah misuh-misuh, katanya: “Lah po mikir Sumiarsih, mikir wetenge dewe ae susah kok…”

Masyarakat awam memang gak begitu peduli, tapine masyarakat yang melek hukum pada bersuara. Contohnya Cak Syaiful Aris Direktur LBH Surabaya, katanya memang belum ada aturan yang tegas terkait waktu, tahapan dan prosedur yang ngatur tentang hukuman mati. Pokok’e, tergantung tren. “Kalau trennya lagi ramai-ramainya eksekusi, ya dieksekusi. Kalau tidak ya ditunda...”

Contohnya, pada 26 Juni silam di Jawa Tengah ada bandar narkoba yang dieksekusi di LP Nusakambangan. Lalu di Medan ada Ahmad Suradji yang juga dieksekusi. Maka di Jawa Timur juga harus ada, yaitu Sumiarsih dan Sugeng.

Tapi, kali ini Kejaksaan serius kok. Sumiarsih sama Sugeng harus mati di depan regu tembak! Kajati Jatim Purwosudiro SH telah menegaskan hal itu, meski waktu dan tempatnya masih dirahasiakan. Ia juga sudah rapat kerja dengan semua pejabat terkait dan semua sudah disiapkan. Di alam sana nanti, Sumiarsih dan Sugeng pasti bisa berbangga hati.

“Aku mati tidak sembarangan,” gitu kira-kira nanti cerita Sumiarsih pada teman-teman di alam sana. “Aku ditembak setelah 20 tahun dipenjara dan nurut para ahli hukum, aku dan Sugeng pegang rekor. Astini dari Wonorejo cuma nunggu 9 tahun dan Ahmad Suradji di Medan 11 tahun. Hebat kan?”

Selain itu, Sumiarsih dan Sugeng nanti juga bangga sebab sebelum mati di depan regu tembak ia sempat dirapatkan orang-orang penting, antara lain Direktur RSU Dr Soetomo, Direktur Reskrim Polda Jatim Kombes Pol Rusli Nasution, Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Jatim Drs Syamsul Bachri SH, serta Komandan Brimob Polda Jatim Kombes Pol Ilham Solahudin. Ada juga Kepala Rutan Kelas I Surabaya di Medaeng Slamet Prihantoro BcIP SH MH, Kasi Pelayanan Tahanan Bambang Hariyanto BcIP SH MH, Kepala LP Wanita Sukun, Malang Entin Martini BcIP SH, serta perwakilan dari Departemen Agama (Depag) dan Pemkot Surabaya. Semua merencanakan kematian Sumiarsih dan Sugeng…..! (sentot js)***

BUI



Kaget bin heran, Bogel bin Welgeduwel-beh mbaca kabar tentang bui alias penjara alias lembaga pemasyarakatan di negeri ini. Jarene Bapak Untung Sugiyono, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, jumlah narapidana sak Indonesia ada 127.000 orang sementara buinya cuma 425 buah dengan daya tampung cuma 80.000 orang (saja). Jadi itung-itungan, kelebihan muatan 47.000 orang. Nek kelebihan itu berupa duik ya untung namanya, tapi wong kelebihan narapidana, yo gombres…

Maka, Bapak Untung pun lantas ambil inisiatip dengan cara ngurangi jumlah narapidana di seluruh Indonesia. Hore, senenge wong ukuman bakal keluar dengan hormat. Tahun 2008 ini sekitar 15.000 orang narapidana bakal dikembalikan ke masyarakat. Tentu saja, pakek aturan ini-itu dan persayaratan pating cruwil, gak pokok bebas trus nandak.

Persyaratan itu antara lain, narapidana yang berkelakuan baik selama di lembaga, sudah njalani dua pertiga dari masa hukuman awal, sedang njalani cuti bersyarat, cuti jelang bebas dan pelepasan bersyarat. Sebenarnya, sudah sejak Desember 2007 sampek Januari 2008, rekomendasi itu diberikan sehingga sekitar 10.000 sampek 13.000 orang narapidana dibebaskan.

Kata Pak Untung, masalah kelebihan kapasitas jadi masalah yang sulit dipecahkan. Di gedung penjara yang terbatas, jumlah penghuni yang terus bertambah, jumlah petugas LP yang tidak seimbang dengan jumlah narapidana, mbikin banyak masalah. Tawuran yang sering timbul di lembaga dan peredaran narkoba merupakan akibat dari dua masalah tersebut.

Tapi nurut Bogel bin Welkgeduwel-beh yang gak pernah diukum, pemecahan seperti itu gak bakal nyelesaikan masalah. Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sedang megap-megap. Sembarang larang, cari duik susah, PKL diobrak, wong mbambung diuber-uber kayak maling, pelacur ditangkepi. Akibatnya, kriminalitas meningkat dan secara otomatis kejahatan pun merajalela-ledung. Secara otomatis (otomatis maneh…) lembaga pemasyarakatan alias penjara alias bui pun bertambah penghuninya, setiap bulan mungkin seribu lebih di seluruh Indonesia.

Nek jumlah penghuni penjara dikurangi satu yang masuk lima, ya sami mawon. Kalau ngomong soal narapidana, ngomong juga soal kondisi sosial ekonomi yang sedang anjlog, ngomong pula soal pengangguran dan kemiskinan. Melepaskan narapidana dari penjara sebelum waktunya bukanlah solusi yang baik.

Lha kalau soal minimnya petugas LP, ya ditambah to Pak wong mereka pegawai negeri sipil. Tapine, karena tugas mereka berat, sebaiknya gaji dan kesejahteraannya dicukupi supaya gak macem-macem. Jangan sampek beli rokok saja minta sama yang dijaga. Artinya, supaya gak main mata sama narapidana, misalnya jadi kurir narkoba atawa yang lainya. Nek kesejahteraan mereka bagus, anak istri dicukupi, gak bingung beli beras, kinerja mereka pasti bagus. Wong penjaganya yang kurang (jumlah dan kesejahteraannya), dan tempatnya yang sempit, kok napinya yang dilepas. Yok’opo se Pak…?

Gimana nek bangunan penjaranya yang ditambah atawa diperluas? Daripada bikin mall dan supermarket yang megah-megah, gimana nek bangunan penjara diserahkan pihak swasta saja lantas pemerintah tinggal bayar sewa gedung?

Ibarat kata mati satu tumbuh seribu, itulah suasana LP saat ini. Ngurangi jumlah penghuni LP yang terus bertambah bukan masalah yang mudah. Kondisi sosial ekonomi di luar mbikin banyak orang salah langkah dan melawan arus. Daripada susah cari makan di luar lebih enak masuk penjara, dikasih makan gratis. Lho, susah kan? (sentot js)***



Senin, 14 Juli 2008

PANCASILA

(Harian Memorandum – Mingu 1 Juni 2008)

Hari ini, Minggu tanggal 1 Juni 2008, adalah hari Lahirnya Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. Bogel bin Welgeduwel-beh jadi ingat sejarah, ketika Bung Karno pidato tanpa teks di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atawa BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), 1 Juni 1945, membicarakan tentang ‘Dasar Negara’ kita. Di dalam pidato yang amat sangat panjang tanpa membaca itu, di antaranya Bung Karno bilang begini:

“Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "Indonesia merdeka sekarang". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu “Indonesia merdeka sekarang, sekarang, sekarang!!”

Dan Bogel bin Welgeduwel-beh tahu bahwa sekarang kita memang sudah merdeka, sudah bebas dari penjajahan bangsa lain, sudah tidak ngawula lagi, sudah seharusnya menikmati kemerdekaan yang direbut dengan darah, keringat dan air mata oleh para pejuang pendahulu kita. Menurut Bung Karno dalam pidatonya itu, kita bahkan sudah sejak tahun 1932 meneriakkan ‘Indonesia Merdeka’.

Sayangnya, Bogel dan jutaan sodara-sodaranya di tanah air tercinta ini belum merasakan hasil dari kemerdekaan itu. Bung Karno sebagai pendiri republik ini wafat dalam tahanan rumah dan jasa-jasanya seperti hilang tanpa bekas. Nama-nama besar seperti Bung Hatta, Sutan Syahrir, Ki Hajar Dewantoro dan lain-lain hanya tinggal sebagai hiasan buku pelajaran sekolah. Pancasila yang diperjuangkan mati-matian di masa silam kini tak terdengar lagi dengungnya.

Padahal, seperti apa yang dipidatokan Bung Karno kala itu: “ Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka. Merdeka atau mati"!

Kala itu, BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.

Lantas dimana sekarang Pancasila? Banyak anak-anak sekolah yang tidak lagi hapal Pancasila, apalagi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran, sebab pemerintah, wakil-wakil rakyat dan para pemegang kebijakan politik sepertinya juga sudah lupa pada Pancasila. Bukan lupa pada gambar garuda dan tulisan ‘Pancasila”, tetapi lupa pada makna dan tujuan yang terkandung di dalamnya.

Lantas mau kemana bangsa ini kalau dasar negaranya sendiri sudah dilupakan? (sentot js)***

Minggu, 13 Juli 2008

sak umpama

Walau gak pinter, Bogel bin Welgeduwel-beh pernah juga sekolah, meski mbayarnya pakek palakependem, sebab sekolahnya di desa. Di sekolah dulu, Bogel diajar Pancasila dan UUD’45. Nek gak salah ingat, sila terakhir menyebutkan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, keadilan sosial bukan cuma untuk sebagian rakyat yang ini atawa yang itu, tetapi bagi seluruh rakyat mulai dari atas sampek ke bawah, mulai dari yang tinggal di rumah gedong sampek yang ndlosor di kolong jembatan. Bukan cuma buat Si Boss tetapi juga buat Wongso dan Kromo yang nggombres alias menterese.

Sak umpama, sila terakhir itu benar-benar dihayati dan diamalkan, orang kaya mau mbantu pemerintah nolong rakyat miskin, apalagi ada menteri yang jadi orang terkaya di Asia Tenggara mau mengamalkan sila kelima, wah...ndahniyo hebatnya negeri ini. Bukan cuma ngemut slogan alias janji gombal tapine benar-benar ngrasak’no enaknya.
Bogel juga ingat pasal 33 ayat 3 UUD’45 yang -nek gak salah- bunyinya gini: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nurut Bogel itu sangat bagus, sebab bukan: dikuasai negara lalu dijual supaya dapat untung.
Sak umpama, pasal itu berfungsi dengan baik dan kekayaan alam benar-benar dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka gak perlu ada pemadaman listrik gara-gara pemerintah gak kuat beli batubara dari negerinya sendiri. Gak perlu harga BBM naik, gak perlu harga beras, kedelai, lombok, bawang melambung, sebab semua itu adalah kekayaan alam yang dikandung bumi Indonesia, Ibu Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi.
Dalam pasal 34 disebutkan bahwa: Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara
oleh negara. Sak umpama pasal itu berjalan baik, maka gak bakal ada wong ngemis ndok embong. Kalau toh ada, ditangkap lantas dipelihara, bukan dikembalikan ke desa asalnya, sebab nantinya bakal kembali ke kota dan ngemis lagi wong di desanya sulit cari makan.
Di dunia pendidikan pun ada pasalnya, yaitu pasal 31 yang ayat 2-nya berbunyi: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Jadi jelas, sekolah dasar gak perlu mbayar alias gratis sebab dibiayai pemerintah. Pasti pemerintah mampu sebab undang-undang menetapkan besarnya biaya pendidikan adalah 20% dari APBN. Kalau gak sampai 20%, ya salah siapa? Mosok salahe Cak Midun bin Kruntelan-heh!
Sak umpama dan sak umpama, maka gak habis-habisnya Bogel berkhayal. Nek gini nek gitu, kalo ini kalo itu, nek ngene nek ngono. Kenyataannya, perjalanan bangsa ini masih terseok-seok seperti keledai sakit dengkul. Banyak pasal dalam UUD ‘45 yang gak terjabar dengan baik. Banyak undang-undang yang saling tindih dan tak membela rakyat kecil. Konon jumlah orang kaya dan super kaya membengkak tahun ini, tetapi angka kemiskinan pun semakin mlembung.
Keadilan sosial jadi seperti bayangan. DPR yang jadi sandaran rakyat dan tempat mengadu serta minta bantuan ternyata malah pada korupsi dan main suap. Insitusi hukum yang diharapkan menjadi tulang punggung tegaknya keadilan malah pada kongkalikong, suap-suapan dan ring-paring.
Sak umpama, DPR berfungsi dengan benar, institusi hukum berdiri tegar bak Gunung Semeru, gak goyah oleh dollar gak ijo ngelihat rupiah, para pemegang kekuasaan gak ngambil keputusan sak penake udele dan kekayaan alam Indonesia gak digadaikan, pastilah negeri ini bakal kembali seperti dulu kala. Subur kang sarwa tinandur murah kang sarwa tinuku. Terok...thok...thok....! (sentot js)***